Jumat, 22 Agustus 2008

Rembiga

 
24 jam terkubur di antara hasil panen raya

kuda, tubuhnya kejang sedari subuh
puasa dalam laparku
pucat rubuh


siapa lebih tua
dari seekor kuda

lelaki kurus menuntun
di jalan menanjak

mengeluhkan demam rematik

meludah

siapa lelaki di pulau hitam ini
berkisah sejarah keluarga
panen padi-padi didirinya

perempuan sejati
memanggang garam ditubuhnya
dengan sayap kupu-kupu
melintasi selat
mencapai tempat aku sembunyi

menawanku menawarku

kudaku
tidak dikebiri
kejang di tengah tambang air tanah
dalam kantung berahiku

di punggung kembang sepasang sayap
dan sebuah tanduk dikeningnya

aku dan kudaku
lapar dalam puasaku lapar dalam puisiku


Jalan Sunyi


bagi Bintang Sidemen

tanah adalah kekasih, tanpa batas terakhir
tanah adalah kekasih sebuah tempat
yang basah oleh tumpahan minyak tubuh di mana kau
dan aku bertani dalam diri
sampai tumbuhlah pohon kemiskinan dan dengan satu pohon
tumbuh dalam diri dunia hijau lahir melayati hidup
mengalir dalam darah sungai yang airnya pahit
memadamkan anyir malam api yang bergegas,
tersembunyi nyeri di tengah nyali
ikan-ikan dari terumbu waktu, berenang dalam akuarium hati
sapi-sapi berladang dalam jiwa
membajak tanah kasih sayang dalam ibadah
terima kasih angin dan bulan merencanakan musim hujan
dan matahari menyusun warna dalam diriku-dirimu tumbuh pelangi
kau dan aku beternak puisi
menggembalakan jasmani-rohani
dalam pelaminan paling hening
jalan ini sunyi! kengerian menghujam dari ke dua sisinya jalan ini sendiri: bagimu bagiku. sebab kau sebab aku
berani memilihnya berani dipilihnya
selat dangkal
lantaran surut laut
tangan membelalang menikam pilu
dengan mata keris dan tombak ikan diujungnya
matahari muncul dari timur
laut tenggelam ke telapak tangan
mengantar kabar yang dicintai manusia: sengatan yang dikenal bunga ilalang bintang pagi bulan sabit : menjadi cahaya
tanah adalah kekasih: sebuah hutan sebuah gurun
di mana kau dan aku takkan kehilangan salib nasib


Rabu, 20 Agustus 2008

Dalam Tubuh Artupudnis

dalam tubuh artupudnis tuhan tak lagi menemui puisi
orang-orang berburu ke dalam terang dan pada sebuah patung pahlawan di tengah keramaian kota mereka berpesta cahaya lampu yang gelap
mereka kenakan bunga-bunga tanpa warnayang mereka petikdari seluruh taman di sepanjang jalanyang bagai kaca perakmemantulkan bayangan merekake dalam kanal
dan kaukau masuk ke dalam mimpi mereka
hingga cahaya itu memasuki gerhanamereka terlolongmemandangimu yang tegak di antara merekabagai patung pahlawanbagai patung garam
mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenalyang belum dicipta para mantan penyair
dan keheningan ini tuhanmewarnai juga mimpi mereka
dalam tubuh artupudnistuhan tak lagi menemui puisi sepanjang sejuta tahun keheningan ini

Terarosa Tanah Lombok

 di Senggigi Kamis 17.01 WITAorang asing itu Eureka menyeka muka
wajah kulit putih Eropanya serupa topeng kayu Labuapimatanya dari mutiara, kaki-tangannya dari bambu, badannya dari tanah liat
hujan hutan tropis membakarnya. abunya menjelma puyuhburung lapar dari arah asharterbang ke Sekotong mencari ombak setinggi ufukmenyelam ke Gili-gili sedalam lubang hitamsinggah sebentar ke Bali. untuk mengukir tanduk jadi bentuk phallushingga akhirnya tidur lelap kelelahan di Tanjung Ujunglangit
igaunya: but, I’m not come from America?!
lelaki itu menatapku di Mataram pukul 14.24pandangannya mengarah agak ke bawah,bermuka masam kurus berdiri sedekap
lelaki kuda itu: mata melotot lidah terjulur taring mencuatlelaki kuda musim dingindi Lombok. bintang padamtanah hijau muda dengan garis-garis merah ludah serangga
Ini kesepian, ujarnyadalam badanku yang telanjang terdapat jiwamu yang telanjangdihukum seumur hidup melafalkan nama TuhanYang Maha Duka Yang Maha Dukana
Kesepian itu, katanya lagi, kekuasaan tanpa tahtaaku telah memberinya tahta dengan meminang hari tuaaku pilih jalan yang tak pernah ditempuh orang laintanpa perempuan menjaga mercusuarakulah lelaki sejatimeski tanpa seorang perempuan pun pernah membuktikannya